Eropa menghadapi krisis pengungsi dalam skala yang belum pernah terukur sejak Perang Dunia Kedua.
Jumlah manusia yang berharap menggenggam status pengungsi terus menanjak sejak paruh pertama 2014, utamanya menyusul konflik berdarah di Suriah dan Irak.
Sebanyak 38 negara Eropa mencatat bahwa 264 ribu aplikasi permintaan suaka telah diserahkan. Dibandingkan dengan 2013, peningkatannya mencapai 24 persen.
Dari jumlah tersebut, 216.300 di antaranya diajukan di 28 negara anggota Uni Eropa. Jerman, Perancis, Swedia, Italia dan Inggris adalah lima negara besar UE yang menerima aplikasi, demikian UNHCR, Komisi Tinggi Perserikatan Bangsa-bangsa untuk urusan Pengungsi.
Antonio Guterres, direktur UNHCR, bahkan meminta UE untuk sepenuh daya menangani krisis ini. "Bagi [UE] dan negara-negara anggotanya, satu-satunya jalan menyelesaikan masalah [pengungsi] adalah penerapan strategi bersama berdasar rasa tanggung jawab, solidaritas, dan kepercayaan," ujarnya.
Suriah menjadi negara yang mengajukan aplikasi suaka terbanyak di 11 dari 28 negara anggota UE, termasuk 41 ribu aplikasi yang diserahkan ke Jerman dan 31 ribu ke Swedia. Jerman sanggup menampung hingga 500 ribu pengungsi setahun. Dan dinegara yang disebut belakangan, pihak berwenang mengurusi pendatang, Migrationsverket, mengizinkan keluarga dari warga Suriah yang telah menjadi penduduk tetap untuk pindah ke negeri tersebut.
Harapan Raib
Kekerasan yang meluluhlantakkan Suriah membuat warga setempat agaknya hanya memiliki dua pilihan: eksodus atau mati. Komentar Anas, seorang perawat, seperti diceritakan kembali oleh The Guardian, menggemakan kengerian itu.
"Saya tak ingin anak saya pergi. Tapi, saya dengar banyak anak tetangga saya tewas karena bom mobil."
Kini di Damaskus, ibukota Suriah, muncul banyak fasilitator pengungsi. Mereka biasanya membantu warga yang berniat angkat kaki dari negeri itu. Kian membubungnya jumlah fasilitator--plus segunung informasi jalan keluar yang mereka miliki--semakin menekan jumlah calon eksil yang terjerat gerombolan penyelundup.
"Meninggalkan Suriah sekarang semakin mudah," ujar Adnan, sebagaimana dinukil dariThe Guardian. "Ongkos bertambah murah."
Para fasilitator itu biasanya akan menunjukkan gambar buram berisi rute perjalanan untuk tembus ke Eropa. Pada sketsa itu, terpacak pula ongkos kereta, bus, hotel melati, dokumen, atau saran di titik-titik tertentu.
Namun, tentu saja perjalanan mereka tidak semudah torehan tinta di atas kertas.Tampilan interaktif BBC dapat sedikit memberikan bayangan mengenai tingginya risiko para pencari suaka dan dikerjakan beralaskan kisah nyata.
Pada fitur interaktif itu, kita mula- mula dapat memilih untuk menjadi pengungsi laki-laki atau perempuan. Di tiap opsi yang kita ambil, ada deskripsi singkat mengenai setiap titik dalam perjalanan dengan konsekuensi masing-masing.
Mengapa Eropa?
Di tengah kecaman mengenai krisis pengungsi yang diarahkan kepada para pemimpin Eropa, teguran terutama berlaku bagi pemerintahan Timur Tengah yang abai untuk menolong empat juta pengungsi Suriah. Pertanyaan terpokok menyasar negara-negara Teluk Persia: Bahrain, Kuwait, Oman, Qatar, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab.
Pasalnya, mereka lebih berdaya ketimbang Yordania dan Libanon, yang selama ini sudah menampung banyak pengungsi Suriah (Time, 08/09/2015)
Pembatasan visa menyulitkan para warga Suriah untuk menjejakkan kaki di negara-negara kaya itu. Dan kebijakan bagi pengungsi itu berpangkal pada hal ruwet. Salah satunya, perbandingan jumlah penduduk lokal dan pendatang yang tinggi di negara-negara yang lebih kecil seperti Qatar dan Uni Emirat Arab.
"Negara-negara teluk bukan pula penanda tangan konvensi internasional mengenai hak-hak pengungsi", ujar Jane Kinnimont dari Chatham House. (Business Insider, 4/9/2015). "Keprihatinan (negara-negara itu) adalah jika keberadaan pencari suaka politik diakui, banyak pekerja (asing yang akan menetap), dapat memicu hal ruwet lain."
Sementara ini, jumlah pekerja asing di tiap negara Teluk selain Arab Saudi dan Oman telah melampaui jumlah penduduk setempat hingga mencapai 99%.
Di luar itu, Mesir mungkin awalnya menjadi pertimbangan. Namun, tekanan pemerintahan setempat memicu pengungsi Suriah untuk mengambil risiko dalam mengarungi perairan Mediterania demi mencapai Eropa.
Setelah Presiden Mesir, Muhammad Mursi, digulingkan pada 2013, Mesir mengharuskan warga Suriah mengajukan visa untuk memasuki wilayah itu. Pemerintahan setempat bersimpati dengan pemberontakan di Suriah, namun, pendatang Suriah tidak masuk hitungan.
Tindakan deportasi pun kerap diambil.
-dari berbagai sumber
Comments
Post a Comment